REVIEW
DAN PETA KONSEP TEORI BELAJAR SISWA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Learning Trajectory
Pendidikan Dasar
Dosen : Prof.
Dr. Marsigit, MA.
Oleh : ARIFAH NUR
A.
REVIEW
TEORI-TEORI BELAJAR
1.
Behaviorism Theory (Teori Behaviorisme)
Teori
behaviorisme atau behavioristik menekankan pada pembentukan perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori belajar behaviorisme menganalisis perubahan
perilaku yang dihasilkan dari rangsangan tertentu di lingkungan. Teori
behaviorisme dengan model hubungan stimulus-respon mendudukan pebelajar sebagai
individu yang pasif. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini hal penting dalam
belajar adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Beberapa
prinsip dalam teori belajar behaviorisme (Gage,
Berliner, 1979), meliputi:
a. Reinforcement
and Punishment (penguatan dan hukuman)
b. Primary
and Secondary Reinforcement (penguatan primer dan sekunder)
c. Schedules
of Reinforcement (jadwal penguatan)
d. Contingency
Management (pengelolaan Contingency)
e. Stimulus
Control in Operant Learning (kontrol stimulus dalam belajar)
f. The
Elimination of Responses (penghapusan respon)
Penggunaan
komputer dalam pembelajaran behaviorisme meningkatkan pengalaman belajar bagi
siswa. Skinner menemukan CBT (Computer
Based Training) dan CAI (Computer
Assisted Instruction). Siswa menggunakan CAI untuk belajar sejumlah kecil
informasi yang diikuti dengan pertanyaan atau tes sederhana. Dengan cara ini,
siswa termotivasi untuk memperluas pengetahuannya untuk mendapat penguatan yang
positif. Oleh karena itu, siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan
tingkat kemampuannya masing-masing, sehingga setiap siswa memiliki kesempaan
untuk maju melalui kurikulum sesuai dengan kecepatan belajarnya sendiri (Wolman,
1973: 115).
Banyak
kritik yang datang bagi teori behaviorisme ini, diantaranya dari pendidikan di
British Columbia yang memfokuskan pembelajaran pada pendekatan kontruktivis
dimana siswa membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pada pengetahuan yang
telah dimiliki sebelumnya. Program pelatihan guru di British Columbia mendorong
guru untuk menghindari belajar dengan metode menghafal, dan behaviorisme, namun
mendukung kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran. Beatty (2002)
mengingatkan bahwa model behavioris menyebabkan pembelajaran cenderung berpusat
pada guru.
2. Social
Cognitive Theory (Teori Kognitif Sosial)
Teori Kognitif Sosial (Social
Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura telah mengelaborasi proses belajar
sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang memengaruhi seseorang
dalam proses belajar sosial.
Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati.
Jika ada seorang "model" di dalam lingkungan seorang individu,
misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di
lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan hiburan,
proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model
tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the
direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang
langsung dan mekanis (Baran &
Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan
anaknya bagaimana cara memasang kancing baju dengan memeragakannya berulang
kali sehingga si anak bisa memasang kancing bajunya sendiri, maka proses ini
disebut proses modeling.
Teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar "rewards and punishments"
(imbalan dan hukuman) tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.
Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang
"pengamat" untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan
yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut
dengan self-efficacy atau
efikasi diri (Bandura, 1977) dan hal ini dipandang sebagai
sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah
penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa dibentuk melalui pengamatan pada
model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat
melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model,
melalui identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui sejauh mana
khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media.
3. Cognitive
Information Processing (Proses Informasi Kognitif)
Dalam Cognitive information processing terdapat
beberapa teori, diantaranya situated cognition/learning theory, knowledge forum, Components of Cognitive Apprenticeship: Scaffolding dan complexity
theory. Situated cognition/learning theory. Cognitive
information processing atau proses
informasi kognitif merupakan teori yang dikemukakan oleh Etienne Wenger
yang menyajikan dasar-dasar teori kognisi sebagai berikut:
a. Aspek sosial merupakan aspek penting dari pembelajaran.
b. Pengetahuan
merupakan kompetensi yang berhubungan dengan usaha yang dihargai.
c. Mengetahui
merupakan partisipasi dalam mengejar pengetahuan, dan keterlibatannya secara
aktif.
d.
Kemampuan untuk memahami dunia, dan
keterlibatan dalam kegiatan belajar bermakna, kegiatan belajar sebenarnya
adalah untuk menghasilkan (Wenger, 1998, hal.4, di Driscoll,
2005, p.164).
Pengetahuan
dibangun secara kolaboratif, yang merupakan program sosial kontruktivis yang
bertujuan untuk mendorong siswa membangun pengetahuan yag bermakna dan
membentuk hubungan alami dengan dunia nyata.
Membangun
pengetahuan yang efektif dapat ditempuh dengan cara:
a.
Fokus pada masalah,
bukan topik: pengetahuan dibangun untuk memahami konsep-konsep dan
menyelesaikan perbedaan.
b.
Menekankan
desentralisasi, demokratis, dan terbuka dalam membangun pengetahuan, dengan
fokus pada pengetahuan kolektif. Hal ini terjadi melalui interaksi sosial yang
konstruktif dengan orang lain yang terlibat dalam masalah yang sama atau
terkait.
c.
Anggota yang lebih
berpengalaman dan berpengetahuan tetap terlibat dalam proses membangun pengetahuan
tetapi tidak harus menempatkan batasan ruang lingkup penyelidikan.
d.
Partisipasi anggota
yang kurang berpengetahuan diutamakan agar kesenjangan antar anggota tidak
terlalu mencolok.
e.
Melibatkan komunitas
pengetahuan yang lebih luas yaitu masyarakat di seluruh dunia.
f.
Lingkungan memberikan
kontribusi pada seseorang dalam membangun pengetahuan
Seperti yang kita lihat, knowledge
building community menekankan pembangunan ide-ide baru melalui pembelajaran
kolaboratif, suasana demokratis dalam lingkungan belajar. Knowledge Building Community (KBC) menyediakan kesempatan dan alat
bagi peserta untuk menciptakan pengetahuan baru yang terus berkembang dengan
jutaan peserta didik dapat berkontribusi.
Sesuai dengan zona pembangunan proximinal Vigotsky (ZPD), memungkinkan pelajar untuk memindahkan tugas dari ZPD ke Zona mereka Zone of Actual Development (ZAD). Wood,
Bruner, dan Ross (1976, seperti yang dikutip oleh Rollins Burch, 2007) Saffolding
merupakan istilah yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan cara orang
tua memfasilitasi pembelajaran bahasa anak-anak mereka. Scaffolding digambarkan sebagai sistem pendukung yang membantu
anak-anak mencapai sukses pada tugas-tugas yang terlalu sulit untuk mereka
selesaikan sendiri. Teori
Bruner ini dibangun di atas karya Vygotsky. Pelajar membangun scaffolding sesuai dengan tingkat perkembangan potensi mereka. Scaffolding adalah dukungan yang
membantu pelajar mencapai tugas yang tidak akan mampu mereka capai tanpa
bantuan; bantuan yang diberikan hanya pada saat dibutuhkan, yang dirancang
untuk membantu pekerjaan pelajar dengan meningkatkan kemandirian.
Teori kompleksitas, juga dikenal sebagai teori sistem, menggambarkan
kehidupan sebagai lingkungan yang selalu berubah. Variabel dalam suatu sistem
dapat berubah dan mempengaruhi hasil dengan cara yang tak terduga. Perubahan
tidak mengikuti jalur linear diprediksi. Tetapi melalui cabang di banyak arah
yang membentuk jalur non-linear yang kompleks. Pendidikan tradisional dirancang
untuk jalur linear dengan hasil diprediksi. Pendidikan perlu berevolusi untuk
beradaptasi dengan jalur non-linear yang kompleks untuk membantu peserta didik
untuk mengadopsi perubahan yang terjadi.
4. Meaningfull
Learning Theory (Teori Pembelajaran Bermakna)
Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi
proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran, serta pembentukan
sikap pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan serta
bermakna sangat bermanfaat bagi peserta didik khususnya untuk meningkatkan
motivasi belajar. Jika penyajian pembelajaran tidak dilaksanakan secara
bermakna maka siswa akan menjadi kurang tertarik / tidak berminat dalam
mengikuti pembelajaran.
Untuk
menciptakan pembelajaran yang bermakna maka model pembelajaran yang akan
diterapkan guru pun menyesuaikan, salah satunya yaitu melalui Problem Based Learning (PBL). PBL
merupakan sebuah pendekatan belajar kontruktivisme yang menjadikan siswa
sebagai pusat belajar. Sehingga bentuk pembelajarannya aktif yang mencakup tiga
definisi yaitu:
a. Pembelajaran
dirancang secara relevan sesuai dengan kemampuan siswa dan
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan menyediakan berbagai startegi pemecahan
masalah.
b. Siswa
belajar dalam lingkungan yang melibatkan kempuannya sendiri serta
partisipasinya dalam kelompok kecil. Sehingga besar sekali partisipasi siwa
dalam pembelajaran dan peran guru memfasilitasi belajar siswa.
c.
Penilaian dan Evaluasi memainkan peran penting
dalam model PBL. Dalam M. Kumar & U. Natarajan (2007) menyebutkan
bahwa tugas guru dapat menggabungkan alat penilaian/evaluasi dalam lingkungan
belajar siswa.
Bagan
Model PBL
Beberapa pedoman desain
masalah dalam model PBL sebagai berikut:
a. Masalah
harus berdasarkan keadaan di lingkungan sekitar peserta didik (kontekstual).
b. Masalah
harus menyediakan pedoman bagi siswa yang terdiri atas berbagai keterampilan.
c. Masalah
harus dirancang agar dapat mengangkat topik penyelidikan untuk mencakup tingkat
kognisi dan metakognisi.
d. Menyediakan
berbagai informasi tambahan.
e. Tutor
atau fasilitator tidak harus seorang ahli, dapat diambil dari siswa yang lebih
pandai yang dapat mengidentifikasi topik yang harus dibahas dalam sesi kelompok
dan diskusi.
f. Materi
visual juga dapat disertakan dalam masalah meskipun itu tergantung pada sumber
daya yang tersedia.
g. Masalah
harus menangani masalah-masalah nyata yaitu meliputi tiga alasan yaitu:
1) Masalah
yang benar-benar sulit akan membuat siswa semakin kaya dalam mencari solusi
pemecahannya.
2) Masalah
nyata dapat memotivasi siswa untuk belajar.
3) Pada
akhirnya siswa ingin belajar dari hasil permasalahan tersebut.
h. Dalam
merancang masalah harus yang memiliki solusi yang jelas, dari yang sederhana
menuju yang lebih rumit.
i. Masalah
harus membangun pengetahuan sebelumnya agar siswa termotivasi secara efektif
untuk memecahkan masalah.
j. Belajar
dalam kelompok kecil adalah metode yang paling bermanfaat bagi siswa untuk
bekerja dalam tim.
Dalam Sungur et al (2006) menyebutkan bahwa tujuan
dari PBL adalah untuk mempersiapkan siswa agar siap untuk menghadapi hidup
serta meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan cara mengharuskan
siswa untuk berpikir tentang masalah kritis dan menganalisis data untuk
menemukan solusi. Matematika adalah ilmu pengetahuan yang banyak diterapkan
dalam kehidupan manusia. Pendekatan PBL membantu siswa untuk mempersiapkan
siswa berpikir kritis dan analitis sehingga pengetahuan yang dipelajari di sekolah
dapat diterapkan dengan lebih baik di dunia nyata. Beberapa manfaat PBL dalam
pendidikan matematika yaitu:
a. Melatih
kemandirian dan tanggung jawab siswa.
b. Memberikan
berbagai permasalah realistis pada siswa yang sesuai dengan konteks tertentu.
c. Menunjukkan
siswa bahwa ada lebih dari satu cara untuk memecahkan masalah.
d. Meningkatkan
kerja kelompok atau kolaborasi dalam matematika.
e. Meningkatkan
motivasi diri dan berpikir kritis.
f. Membantu
siswa menunjukkan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam cara yang non tradisional.
g. Mendorong
pembelajaran seumur hidup.
Maka dapat disimpukan bahwa model
PBL pada berbagai mata pelajaran khususnya matematika memberikan kepada siswa
sebuah pembelajaran yang bermakna. Ketika siswa telah merasakan bahwa
pembelajaran ini bermanfaat bagi kehidupannya maka kebermaknaan dari
pembelajaran tersebut akan semakin terasa.
Selain
menggunakan PBL dalam desain pembelajaran yang bermakna dapat pula dengan
menggunakan Collaborative learning
yang bermula dari teori Vygotski, yang disebut ZPD (Zone of Proximal Development). Dalam Vianna (2006) disebutkan bahwa
Vygotski berusaha menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif
informatif yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu
lainnya. Dalam Vygotsky (1978) disebutkan definisi ZPD yaitu "jarak antara
tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah
independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama dengan rekan-rekan
yang lebih mampu. Dalam Woolfolk (2000) juga disebutkan bahwa ZPD adalah area
di mana anak tidak bisa memecahkan masalah sendiri tapi berhasil
menyelesaikannya di bawah bimbingan atau bekerja sama dengan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih maju. Salah satu model pembelajaran yang terkait dengan
teori ini yaitu melalui collaborative
learning. Dengan collaborative
learning siswa berlatih bekerja sama, saling membantu dalam menyelesaikan
tugas belajar, sehingga tumbuh keyakinan (self
efficacy) dalam diri siswa yang kuat untuk dapat menyelesaikan suatu
masalah ataupun tugas saat pembelajaran. Di dalam collaborative learning juga terdapat pengajaran timbal balik,
strategi inilah yang menyediakan cara untuk mengases zona perkembangan
proksimal (ZPD). Selain collaborative
learning terdapat model pembelajaran untuk mendukung ZPD yaitu melalui
partisipasi terpadu, magang, penemuan (mendorong siswa untuk mencoba
keterampilan baru, pemodelan), guru juga dapat menggunakan petunjuk serta
memberikan pertanyaan bagi siswa.
Telah
disebutkan di atas bahwa penialaian dan evaluasi memainkan peran penting dalam
model PBL. Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Tujuan
dari evaluasi pembelajaran adalah memberikan umpan balik tentang pembelajaran
dan membimbing guru dan siswa untuk membuat tugas-tugas pembelajaran yang
tepat.
Dalam
sudut pandang kontruktivifisme evaluasi dapat dilaksanakan melalui penilaian
formatif, sumatif dan penilaian diri. PBL termasuk model pembelajaran dengan
pendekatan kontruktivis sehingga bentuk
evaluasi cenderung subyektif dalam proses pembelajarannya pun siswa mencapai
pengetahuan dengan membangun pengetahuan itu sendiri. Evaluasi kontruktivisme
berfokus pada poses belajar individu dalam mencapai proses penciptaan pengetahuan.
Setiap pelajar dianggap berbeda dalam kekuatan individu, kelemahan, dan
pengetahuan sebelumnya, serta pengalaman. Evaluasi berfokus pada bagaimana
peserta didik mampu mempelajari materi baru melalui menghubungkan dengan
pengetahuan sebelumnya untuk membuat ikatan abadi dalam pikiran pembelajar.
Melalui hubungan ini, kemampuan siswa dievaluasi untuk menerapkan pembelajaran
dengan konteks kehidupan nyata sehingga pengetahuan yang didapatkan akan
semakin kuat dalam pikiran siswa.
5. Developmental
Approach (Pendekatan Perkembangan)
Developmental Approach, merupakan teori belajar yang
berdasarkan tahap tumbuh kembang anak. Teori Developmental, meliputi development stage theory, Problem Based
Learning dan Evaluation
Constructivist Learning.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa anak-anak bisa
mengembangkan kognisi dan pengetahuan melalui serangkaian tahap perkembangan.
Untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya, melalui penggunaan
asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan, keuntungan dan membangun schema, yang
ditransfer ke tahap berikutnya dan dibangun lebih lanjut atas secara constructionist (wikipedia.org). Syarat utama terjadinya proses pengembangan kognitif dan pengetahuan
menurut Piaget:
a.
Asimilasi : Memasukkan struktur skema baru ke
dalam skema yang sudah ada.
b.
Akomodasi : Memodifikasi struktur logis atau skema yang disesuaikan
dengan lingkungan.
c.
Equalibrasi : Keseimbangan antara struktur kognitif
asimilasi dan akomodasi dalam mencapai pengetahuan.
d.
Egosentrisme :
Kegagalan untuk memahami sudut pandang orang lain yang mungkin berbeda dari diri
mereka sendiri. Penelitian Piaget menunjukkan fakta bahwa egocentrisim paling
menonjol sebelum usia enam atau tujuh tahun. Namun, kemudian penelitian Piaget,
serta yang penelitian lain, telah memperkirakan bahwa egosentrisme dapat timbul
pada setiap tahap perkembangan, tetapi dalam bentuk yang baru dan berbeda.
Empat tahap perkembangan menurut piaget:
a.
Tahap
sensori-motor (0 – 2 tahun)
1) Kecerdasan ini ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan
simbol-simbol.
2) Pengetahuan tentang dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi
fisik/pengalaman.
3)
Anak-anak mencapai objek permanence sekitar
7 bulan.
4) Aktifitas fisik memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual
baru.
5)
Beberapa kemampuan simbolik (bahasa) yang dikembangkan pada akhir tahap
ini
b.
Tahap
pra operasional (2-7 tahun)
1)
Perkembangan kecerdasan ditunjukkan melalui penggunaan simbol-simbol,
bahasa, memori dan imajinasi..
2)
Berpikir tidak logis, dengan cara nonreversible.
3)
Dominan berpikir egosentris.
c.
Tahap
operasional konkret ( 7-11 tahun)
1)
Kecerdasan
pada tahap ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis simbol yang
berkaitan dengan benda-benda konkrit.
2)
Pemikiran
operasional berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
3)
Pemikiran
egosentris berkurang
d.
Tahap
operasional formal (11 tahun-dewasa)
1) Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi logis
dari simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
2) Pada awal periode ini ada sedikit kecenderungan kembali
ke pemikiran egosentris.
3) Banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini.
Sedangkan teori
PBL diidentifikasikan sebagai strategi untuk belajar aktif dan mencakup tiga segi.
Pertama, PBL terdiri dari
masalah yang dirancang dan relevan dengan bidang siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang
menantang dan menuntut siswa untuk menggunakan berbagai strategi pemecahan
masalah. Kedua, siswa belajar dalam lingkungan yang melibatkan kombinasi dari
pengarahan diri sendiri dan partisipasi kelompok kecil. Ketiga, peran guru dan
siswa yang berbeda dari pembelajaran tradisional. Siswa mengambil lebih banyak
tanggung jawab atau aktif dalam lingkungan belajar sedangkan guru
memfasilitasi. Namun, seperti dengan metode tradisional pedagogi, penilaian dan
evaluasi memainkan peran penting dalam model PBL. Karena kenyataan bahwa
"lingkungan PBL biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip
konstruktivisme" adalah penting bagi guru untuk menggabungkan alat
penilaian/evaluasi dalam lingkungan belajar mereka (M. Kumar & U.
Natarajan, hal.94). Asal usulnya adalah di tahun 1970-an di McMaster University Fakultas
Kedokteran. Sebagai kelompok kecil siswa bekerja melalui kasus (masalah)
kemudin mereka menghasilkan pertanyaan dan menyelidiki pengetahuan mereka
sebelum mencoba membuat hipotesis untuk menjelaskan fenomena yang telah dianalisis.
Para siswa mengembangkan masalah
pembelajaran di mana mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup. Masalah pembelajaran yang diteliti
tersebut diperbaiki pada sesi berikutnya sampai siklus masalah selesai.
Instruktur dalam ha ini guru membantu memfasilitasi eksplorasi siswa dengan
mengajukan pertanyaan membimbing
. Fasilitator tidak perlu
menjadi ahli konten pada masalah (Barrows, p 43) , guru menyediakan informasi
yang diperlukan tentang kasus ini dan memberikan beberapa pertanyaan membimbing. Karena
"Masalah" yang mendorong pembelajaran, mengembangkan masalah yang
baik merupakan dasar yang efektif dalam PBL.
6. Social
Formation Theory (Teori Formasi Sosial)
Teori
formasi sosial, menyangkut di dalamnya adalah social learning theory, collaborative knowledge building model, connectivism,
ZPD, collaborative learning, dan teori modeling. Inti dari teori formasi
sosial adalah bahwa pembelajaran melibatkan suatu komunitas belajar yang saling
terkait dan saling memberikan masukan demi kemajuan bersama. Atau dengan kata
lain pembelajaran dengan cara berkolaborasi.
Pembelajaran kolaboratif adalah suatu situasi di mana dua atau lebih
orang belajar atau mencoba untuk belajar sesuatu bersama-sama. (Dillenbourg: 1999) Tidak seperti belajar individu, orang yang terlibat dalam
pembelajaran kolaboratif memanfaatkan satu sama lain sumber daya dan
keterampilan (Chiu:
2000). Menurut Chiu (2008) pembelajaran
kolaboratif didasarkan pada model bahwa pengetahuan dapat dibuat dalam populasi
di mana anggota aktif berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan mengambil
peran asimetri. Pembelajaran kolaboratif mengacu pada metodologi dan lingkungan
di mana peserta didik terlibat dalam tugas umum di mana setiap individu
tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain (Mitnik: 2009). Termasuk di
dalamnya percakapan tatap muka (Chiu: 2008) dan diskusi komputer (forum online,
chat room, dll.).
Pembelajaran kolaboratif sangat berakar pada pandangan Vygotsky
bahwa ada sifat sosial yang melekat pembelajaran yang ditunjukkan melalui teori
Zone of Proximal Development (ZPD).
Seringkali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum untuk
berbagai pendekatan dalam pendidikan yang melibatkan upaya intelektual bersama
oleh siswa atau siswa dan guru (Lee: 2000). Dengan demikian, pembelajaran
kolaboratif umumnya digambarkan ketika kelompok siswa bekerja sama untuk
mencari pemahaman, makna, atau membangun pengetahuan mereka (Smith: 1992). Kegiatan
belajar kolaboratif dapat mencakup menulis kolaboratif, proyek kelompok,
pemecahan masalah bersama, debat, tim studi, dan kegiatan lainnya (Chiu:2004).
Vygotsky
berusaha untuk menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif
transformatif yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu
lainnya (Vianna, 2006). Penekanan pada perkembangan pembelajaran ini adalah
kolaborasi, yang mengarah pada Zone of
Proximal Development Vygotsky (ZPD). Vygotsky menyatakan bahwa ZPD adalah
"jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh
pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan
melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama
dengan rekan-rekan yang lebih mampu. "(Vygotsky, hal. 86, 1978). Atau
dengan kata lain, ZPD adalah area di mana anak tidak bisa memecahkan masalah
sendirian tapi berhasil dapat menyelesaikannya di bawah bimbingan atau bekerja
sama dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju (Woolfolk, 2000, p.
47).
Melalui
bantuan orang lain, pelajar mungkin dapat mencapai pengetahuan lebih dari ketika
pelajar belajar sendiri. Ide bimbingan telah terlihat, di mana pengetahuan
pelajar dibangun secara berlapis, dengan masing-masing tingkat instruksi pada
lapisan lain (Oxford, 1997). Bimbingan rekan-rekan yang lebih kompeten membantu
dalam pengalaman pelajar (Vygotsky, 1978). Kuncinya adalah pada akhirnya
peserta didik akan dapat melakukan tugas yang sama terkait atau memahami konsep
tanpa bantuan dari rekan atau pendidik.
Pembelajaran kolaboratif terjadi ketika individu secara aktif terlibat
dalam sebuah komunitas di mana pembelajaran terjadi melalui upaya kolaboratif
eksplisit atau implisit. Pembelajaran kolaboratif sering digambarkan sebagai
proses kognitif dimana orang dewasa berpartisipasi sebagai fasilitator
pengetahuan dan anak-anak sebagai penerima. Namun, masyarakat Amerika
menggambarkan bahwa pembelajaran kolaboratif terjadi karena partisipasi
individu dalam belajar terjadi pada bidang horizontal di mana anak-anak dan
orang dewasa adalah sama. Menurut Paradise (1985) pembelajaran kolaboratif juga
terjadi ketika anak-anak dan orang dewasa terlibat dalam aktivitas bermain,
bekerja, dan kegiatan lainnya secara bersama-sama.
7. Representation
and Discovery Learning (Pembelajaran Representasi dan Penemuan)
Desain
pembelajaran yang berpusat pada siswa memerlukan perancangan yang dapat
digunakan untuk mengembangkan suatu produk atau system yang akan dapat
digunakan serta bermanfaat bagi siswa. Dalam Norman (1988) menyebutkan manfaat
dari desain pembelajaran yang berpusat pada siswa yaitu memudahkan untuk
menentukan tindakan apa yang mungkin setiap saat, membuat hal-hal yang terlihat
seperti konsep, tindakan, dan hasil, memudahkan untuk mengevaluasi system
keadaan saat ini, dan membentuk hubungan yang alami serta memberikan tindakan
yang tepat. Peran guru adalah memastika bahwa pengguna dapat memanfaatkan
produk sebagaimana yang dimaksud.
Dalam
membuat sebuah desain pembelajaran guru diharapkan memenuhi kebutuhan standar
isi dan menjawab pertanyaan “apa yang akan diajarkan”. Guru mebutuhkan model
pembelajaran yang sesuai dengan standar yang menunjukkan bagaimana pembelajaran
dan pengajaran yang sesuai dengan standar konten serta basis informasi yang
kuat. Universal Desain Pembelajaran (UDL) adalah teori pembelajaran yang telah
dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha memastikan bahwa lingkungan
belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat belajar
meningkatkan belajar dan menghilangkan hambatan untuk belajar.
Belajar penemuan adalah teknik pembelajaran
berbasis penyelidikan dan dianggap sebagai pendekatan berbasis konstruktivis
untuk pendidikan. Hal ini didukung oleh karya teoritis belajar dan psikolog
Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Seymour Papert. Pembelajaran penemuan terjadi
dengan memecahkan suatu masalah di mana pelajar mengacu pada pengalamannya
sendiri dan pengetahuan sebelumnya serta merupakan metode pengajaran di mana
siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi dan memanipulasi
benda, bergulat dengan pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Maka
pembelajaran berbasis masalah (PBL) sesuai dengan teori discovery learning ini.
8. Contructivist
Approach (Pendekatan Konstruktivis)
Dari sudut pandang konstruktivis, proses pembelajaran ditekankan atas produk
akhir. Evaluasi dalam konstruktivisme sebagai pembelajaran berupa penilaian
formatif dan penilaian diri, sedangkan sebagai evaluasi belajar berupa
penilaian sumatif. Sementara behaviorisme dan kognitivisme fokus pada pengukuran hasil yang spesifik,
obyektif, konstruktivis cenderung subyektif menilai pekerjaan siswa. Perjalanan
dalam mencapai pengetahuan adalah sama pentingnya dengan pengetahuan itu sendiri.
Menurut Andrew
Scholtz (2007) , jika
penilaian mencerminkan praktek profesi, panggilan atau praktek yang dinilai,
sementara pada saat yang sama memberikan kesempatan pada pelajar untuk
menunjukkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Lorrie
Shepard (2000)
menjelaskan pendekatan ini untuk penilaian berbasis kinerja, di mana menilai
pemahaman siswa, umpan balik dari rekan-rekan, dan self-assessment (penilaian diri) siswa adalah bagian dari proses
sosial yang menengahi pengembangan kemampuan intelektual, konstruksi
pengetahuan, dan pembentukan identitas siswa.
Evaluasi dalam kelas konstruktivis, dilakukan
dengan metode yang dirancang untuk fokus pada proses yang digunakan pelajar
untuk mendapatkan pengetahuan. Melalui penilaian diri dan refleksi, pelajar
memperkuat hubungan pengetahuan tersebut di dalam pikirannya. Guru menggunakan
berbagai metode penilaian formatif untuk memantau proses pelajar dan menentukan
bagaimana pelajar belajar. Pendekatan
konstruktivis menggunakan dua prinsip utama:
a.
Siswa belajar atau
menerima pengetahuan dengan terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan
dari lingkungan.
b.
Pengetahuan datang melalui proses persepsi, pengalaman, dan
refleksi.
9. Social
Approach (Pendekatan Sosial)
Pendekatan
sosial atau social approach terkait
dengan social learning theory,
collaborative knowledge building model, connectivism, ZPD, collaborative
learning. Konsep collaborative
knowledge building (CKB) diperkenalkan oleh Scardamalia dan Bereiter (1994)
dalam penelitian mereka pada proses belajar di sekolah, di mana mereka
mengusulkan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai masyarakat pembangun
pengetahuan. Model collaborative
knowledge building adalah model pembelajaran di mana ada beberapa tahapan yang
merupakan siklus knowledge building
pribadi dan sosial. CKB adalah penyelidikan dalam pelayanan kegiatan praktis
yang merupakan seperangkat keyakinan pribadi, yang diartikulasikan sebagai
kontribusi kepada proses membangun pengetahuan sosial. Sebuah kondisi yang
diperlukan untuk membangun pengetahuan kolaboratif adalah bahwa peserta didik
membawa pengetahuan sebelumnya ke dalam situasi belajar dan memperjelas perbedaan
pandangan dan pendapat dalam berinteraksi. Pengetahuan baru ini muncul tidak
alami atau spontan namun perlu dibina berdasarkan pemahaman tentang bagaimana
pengetahuan baru muncul dalam interaksi sosial.
Penggunaan
jaringan komputer memberikan alternatif dalam mengajar tradisional tatap muka berubah
menjadi konsep kelas dengan konsep collaborative
knowledge building bagi peserta didik. Model collaborative knowledge building menggabungkan wawasan dari
berbagai teori pemahaman dan pembelajaran dan menyediakan kerangka kerja
konseptual yang berguna untuk desain perangkat lunak Computer Supported Collaborative Learning (CSCL) dan lingkungan.
Penelitian terakhir, proyek dan kerja telah menunjukkan efektivitas perangkat
lunak dan lingkungan dalam memfasilitasi dan meningkatkan collaborative knowledge building siswa.
Proses
CKB digambarkan sebagai momen sinergis dimana kelompok mencapai pemahaman
bersama dengan berpartisipasi dalam proses sosial budaya. Setiap anggota
kelompok membawa perspektif dan interpretasi dari pengalaman pribadi mereka.
Proses di mana kelompok mencapai pemahaman bersama dan antar-subjektivitas
melalui interaksi konstan dipecah menjadi kegiatan peningkatan pengetahuan yang
lebih kecil. Pandangan CKB, belajar sebagai proses sosial menggabungkan
beberapa tahapan yang merupakan siklus membangun pengetahuan pribadi dan
sosial. Dukungan komputer dapat digunakan untuk mengintegrasikan berbagai
tahapan dalam siklus membangun pengetahuan untuk meningkatkan lingkungan
belajar dan memperkenalkan collaborative
knowledge building. Saat ini ada software dan perangkat lunak sosial yang
mungkin lebih mamadai untuk mendukung pengembangan pengetahuan kolaboratif
dalam lingkungan pembelajaran berbasis komputer.
10. Technological
Approach (Pendekatan Teknologi)
Technological Approach merupakan suatu teori pembelajaran yang menggunakan pendekatan
teknologi sebagai metode maupun media pembelajaran. Teori ini meliputi, The Effective Web Design Paradigm, User-Centred, Differentiated Instruction and Understanding by Design. Teori ini terlihat
pada kombinasi yang kuat dari tiga model pengajaran/pembelajaran yang berbeda; Understanding by Design (UBD), Differentiated Instruction (DI) dan Universal Design Learning (UDL). Dengan
mendefinisikan dan menguraikan kekuatan dari model pembelajaran individual, menjadi jelas bahwa bersama-sama
mereka membentuk sebuah pendekatan pengajaran yang kuat dan holistik.
Understanding by Design memenuhi kebutuhan untuk standar isi dan
menjawab pertanyaan: "Apa yang kita ajarkan". Dengan peningkatan
ekspektasi konten di semua tingkatan kelas serta ujian dengan standar yang
telah ditetapkan pemerintah yang membandingkan tingkat prestasi sekolah; mengajar
di kelas menjadi tidak sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Guru
membutuhkan model yang menyumbang standar tetapi juga menunjukkan bagaimana
pembelajaran dan pemahaman dapat mengatasi standar konten serta mengembangkan
basis informasi yang kuat.
Differentiated Instruction melihat pada cara
dan di mana kita mengajar siswa kita, berfokus pada praktek-praktek terbaik
untuk masing-masing peserta didik. Selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi
kebutuhan beragam kelas. Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan ekonomi,
motivasi, cacat, kepentingan pribadi dan gaya belajar serta lingkungan rumah
hanya beberapa dari banyak variabel yang dibawa siswa ke sekolah.
Variabel-variabel ini dapat menyebabkan kurikulum tidak efektif bahkan jika
kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Differentiated
Instruction menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi perbedaan
di kelas.
Universal Design Learning (UDL) adalah teori
pembelajaran yang telah dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha memastikan
bahwa lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran serta
alat belajar meningkatkan proses belajar dan menghilangkan hambatan untuk
belajar. Universal Design adalah
istilah yang diciptakan oleh Ron Mace pada tahun 1960 diterapkan pada desain
"bebas hambatan" atau arsitektur diakses yang akan menguntungkan
semua. Konsep ini dimulai oleh Ron Mace ketika mencari metode untuk memperbaiki
kehidupan bagi penyandang cacat.
B.
HUBUNGAN
ANTAR TEORI BELAJAR/ALUR PIKIR SISWA
Bagan Hubungan Teori Belajar
Penjelasan dari bagan di atas adalah
bahwa semua teori belajar yang digunakan guru dalam pelaksanaan pembelajaran mengacu
pada kurikulum yang diterapkan. Teori belajar merupakan cara atau langkah yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan memperhatikan berbagai
aspek peserta didik sebagai subjek belajar.
Penggunaan berbagai teori belajar dalam
pelaksanaan pembelajaran dimaksudkan untuk mengembangkan potensi dan kompetensi
yang dimiliki peserta didik. Di samping itu, dalam pemilihan teori belajar juga
harus disesuaikan dengan karakteristik serta tingkat kemampuan peserta didik.
Karena setiap peserta didik memiliki potensi, kemampuan, dan kecerdasan di
bidang yang berbeda-beda.
Empat teori belajar yang ada di sebelah
kiri yaitu Cognitive Information
Processing, Social Cognitive Theory, Social Formation Theory, Social Approach dicirikan
dengan model pembelajaran kolaboratif atau Collaborative
Learning. Dalam teori Cognitive Information Processing dikenal istilah Knowledge
Building Community yang menekankan pembangunan ide-ide baru melalui
pembelajaran kolaboratif, dan suasana demokratis dalam lingkungan belajar.
Dua teori belajar
yang ada di sebelah bawah yaitu behaviorism
theory dan technological approach saling
berkaitan karena sesuai dengan teori behaviorisme di atas bahwa dengan penggunaan
komputer dalam pembelajaran behaviorisme meningkatkan pengalaman belajar bagi
siswa.
Sedangkan empat teori belajar yang ada di sebelah
kanan yaitu Meaningful
Learning Theory, Developmental Approach, Constructivist Approach,
Representation&Discovery Learning dicirikan dengan
pembelajaran berbasis masalah atau Problem
Based Learning (PBL). Dengan penyajian masalah dalam model PBL, peserta
didik dituntun untuk menemukan pemecahan dari masalah yang disajikan dalam
pembelajaran. Ketika peserta didik telah menemukan solusi untuk pemecahan dari
permasalahan tersebut, dengan otomatis siswa akan membangun pengetahuan baru
berdasarkan pengetahuan dasar yang sudah dikuasainya. Maka dengan penggunaan
model PBL, pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful learning) bagi siswa karena dia menemukan sendiri atau
membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang telah
dimilikinya.
Dalam
bagan di atas, collaborative learning
juga berhubungan dengan PBL karena anak SD cenderung belum bisa
memecahkan masalah sendiri tapi mereka membutuhkan bimbingan atau bekerja sama
dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju. Salah satu model
pembelajaran yang terkait dengan teori ini yaitu melalui collaborative learning. Dengan collaborative
learning siswa berlatih bekerja sama, saling membantu dalam menyelesaikan
tugas belajar, sehingga tumbuh keyakinan (self
efficacy) dalam diri siswa yang kuat untuk dapat menyelesaikan suatu
masalah ataupun tugas saat pembelajaran.
C.
SKEMA
ALUR PIKIR SISWA
Skema alur pikir siswa di atas saya
sebut juga sebagai hermeneutika alur pikir siswa. Bahwa dalam hermeneutika alur
pikir siswa terdiri dari tiga komponen, yaitu garis lurus, lingkaran, dan
spiral alur pikir siswa. Garis lurus menggambarkan siswa sebagai subjek belajar
yang terus mengalami perkembangan secara fisik, kompetensi, maupun pengetahuan,
dan hal tersebut terus bergerak maju atau tidak akan kembali pada masa yang
pernah dilalui peserta didik tersebut. Seperti misalnya kita mengambil contoh dari
teori perkembangan Piaget, anak SD yang berada pada tahap operasional konkret
akan terus mengalami perkembangan menuju tahap operasional formal dan anak tak
akan kembali pada tahap sensori motor maupun tahap pra operasional. Oleh sebab
itu, guru harus mampu memahami tahap perkembangan anak ini, untuk dijadikan
dasar ketika guru membuat desain dan melaksanakan pembelajaran.
Lingkaran menggambarkan pengalaman
proses belajar yang dialami oleh siswa dengan
menggunakan berbagai pendekatan, metode, model, dan mendasarkan pada
berbagai teori belajar siswa yang tentunya dalam penggunaannya disesuaikan
dengan karakteristik siswa itu sendiri.
Spiral hermeneutika menggambarkan
penggabungan dari kedua komponen garis dan lingkaran yang berarti kedua hal
tersebut saling berinteraksi dalam suatu sistem yang berkelanjutan atau
berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, T. (2004). Chapter 2: Toward a theory of online learning theory and practice of online
learning (Anderson, T., & Elloumi, F., Eds.) (33-59). Retrieved
November 20, 2007, from http://cde.athabascau.ca/online_book/ch2.html
Bandura,
A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a
unifying theory of behavior change. Psychological Review, 84, hal.
191-215
Baran, S.J
& D.K. Davis. 2000. Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd edition.
Belmon, CA: Wadsworth
Baranowsky,
T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How
Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive
Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health
Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San
Francisco: Jossey-Bass
Bates, Reid. (2004) A critical analysis of evaluation practice:
The kirkpatrick model and the practice of beneficence. Evaluation and
Program Planning, 27, 341-347.
Bruffee, Kenneth (1993). Collaborative Learning. Baltimore: The
Johns Hopkins University Press. pp. 28–51.
Capra, F. (2005). Complexity and life. Theory, Culture & Society, 22(5), 33-44.
Dearden,
A. (2008, Spring2008). User-Centered
Design Considered Harmful (with apologies to Edsger Dijkstra, Niklaus Wirth, and
Don Norman). Information Technologies & International Development,
4(3), 7-12. Retrieved January 25, 2009, from Business Source Complete database.
Dick,
Walter. (2002). Chapter 11 Evaluation in
instructional design: The impact of kirkpatrick’s four-level model. In
Robert Reiser & John Dempsey (Eds.), Trends and issues in instructional
design and technology (pp. 145-153). Prentice Hall.
Dillenbourg, P. (1999). Collaborative Learning: Cognitive and
Computational Approaches. Advances in Learning and Instruction Series. New
York, NY: Elsevier Science, Inc.
Ertmer, P. A.,
Newby, T. J. (1993). Behaviorism,
cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional
design perspective. Performance
Improvement Quarterly, 6 (4), 50-70.
Fraser, S. W., & Greenhalgh, T.
(2001). Coping with complexity: Educating for capability. BMJ (Clinical
Research Ed.), 323(7316), 799-803
Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second
Edition, Chicago: Rand Mc. Nally
Gredler, M. E. (2005). Learning and instruction: Theory into
practice (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education
Harding-Smith,
T. (1993). Learning together: An
introduction to collaborative learning. New York, NY: HarperCollins College
Publishers.
Heinich, R., Molenda, M., Russel,
J.D., & Smaldino, S.E. (1996). Instructional
media and technologies for learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Katz-Hass,
R. & Trutchard, A. (1998). Ten
Guidelines for User-Centred Web Design. Usability Interface, Vol 5, No. 1.
Kaufman,
R., Keller, J. & Watkins, R. (1995). What works and what doesn’t:
Evaluation Beyond Kirkpatrick. Performance and Instruction, 35(2), 8-12.
Kirkpatrick,
D. L. (1996). Techniques for Evaluating training programs. In Donald P. Ely,
& Tjeed Plomp (Eds). Classic writings on instructional technology
(pp.119-141). Libraries Unlimited.
Kumar, M. & Natarajan, U. (2007) 'A problem-based learning model: showcasing
an educational paradigm shift', Curriculum Journal, 18:1, 89 – 102
Lankshear, C., & Knobel, M. (2008).
The “twoness” of learn 2.0:
Challenges and prospects of a would-be new learning paradigm. Closing keynote
presented at the Learning 2.0: From Preschool to Beyond, Montclair State
University, Montclair, NJ.
Lee,
C.D. and Smagorinsky, P. (Eds.).(2000). Vygotskian
perspectives on literacy research: Constructing meaning through collaborative
inquiry. Cambridge, England: Cambridge University Press.
Mayer, R.
(2004). "Should there be a
three-strikes rule against pure discovery learning? The case for guided methods
of instruction". American
Psychologist 59 (1):
14–19. doi:10.1037/0003-066X.59.1.14.
PMID 14736316.
Mitnik,
R., Recabarren, M., Nussbaum, M., & Soto, A. (2009). Collaborative Robotic Instruction: A Graph Teaching Experience.
Computers & Education, 53(2), 330-342.
Myers, D. G. (1995).
"Psychology: Fourth Edition". New York: Worth Publishers.
Norman, D.
(1988). The Pychology of Everyday Things.
New York: Doubleday.
Oxford, R. (1997). Constructivism: shape-shifting, substance, and teacher education
applications. Peabody journal of education, v.
72 (n1), p35. Retrieved Sunday, March 04, 2007 from the ERIC database.
Paradise,
R. (1985). Un análisis psicosocial de la
motivación y participación emocional en un caso de aprendizaje individual.
Revista Latinoamericana de Estudios Educativos, XV, 1, 83-93.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice.
Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon
Smith,
B. L., & MacGregor, J. T. (1992). “What Is Collaborative
Learning?".
National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment at
Pennsylvania State University
Sorensen, E. K. (2005). Networked elearning and collaborative
knowledge building: Design and facilitation. Contemporary Issues in Technology
and Teacher Education, 4(4), 446-455.
Stahl, G. (2000). A Model of Collaborative Knowledge-Building. In B. Fishman & S.
O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning
Sciences (pp. 70-77). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Sungur,
S., Tekkaya, C., & Geban, O. (2006). Improving
achievement through problem-based learning. Journal of Biological
Education, 40 (4), 155 – 160.
Vianna, E. & Stetsenko, A.(2006). Embracing history through transforming it:
contrasting Piagetian versus Vygotskian (Activity) theories of learning and
development to expand contructivism within a dialectical view of history. Theory & Psychology. Sage
Publications. Vol. 16(1): 81–108.
Vygotsky, L.S. (1978). Mind and society: The development of higher
mental processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wolman, Benjamin B. (1973). Handbook of General Psychology. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Woolfolk, A. E., Winne, P. H., &
Perry, N. E. (2000). Educational
Psychology, Canadian Edition. (pp. 42-48; Cognitive Develoment and Language).
Scarborough: Allyn and Bacon Canada.